5. Karang Penghasil Hidrogen
Quote: Laut menyimpan banyak energi. Selain gelombang, arus dan perbedaan temperaturnya yang bisa dipanen sebagai penghasil energi, fenomena di laut dalam seperti hidrotermal atau coal bed methane juga diperkirakan mampu menghasilkan energi yang besar.
Tetapi potensi energi di laut dalam tidak hanya hidrotermal dan coal bed methane. Menurut para ilmuwan, ada kerang di dasar laut yang efisien dalam mengubah hidrogen menjadi energi, sebagai sel bahan bakar hidrogen buatan alam. Kerang itu ditemukan oleh Max Planck Institut Mikrobiologi Kelautan dan Cluster of Excellence (Marum)
Ketika pertama kali ventilasi hidrotermal ditemukan, penelitian secara luas dilakukan untuk menyediakan dua sumber energi bagi kehidupan laut - hidrogen sulfida dan metana. Sekarang, Max Planck Institut Mikrobiologi Kelautan telah menemukan sumber energi ketiga. Penemuan ini dibuat di sebuah pegunungan jauh di bawah permukaan laut Atlantik di lapangan lubang hidrotermal Logatchev yang berada 3000 meter di bawah permukaan laut. Ketika para peneliti membawa kerang kembali ke laboratorium mereka menemukan bahwa kerang-kerang tersebut menggunakan bentuk energi baru selain dari apa yang telah mereka temukan sebelumnya di ventilasi laut dalam.
"Perhitungan kami menunjukkan bahwa saat ini lubang hidrotermal, oksidasi hidrogen bisa memberikan energi tujuh kali lebih besar dari oksidasi metana, dan mempunyai energi hingga 18 kali lebih besar dari oksidasi sulfida," kata Jillian Petersen, salah seorang dari tim peneliti. Kerang-kerang tersebut yang dikenal dengan nama latin Bathymodiolus puteoserpentis, adalah yang paling melimpah di ventilasi Logatchev dan populasinya mampu mengkonsumsi sampai 5000 liter hidrogen per jam.
"Ventilasi hidrotermal di sepanjang pegunungan di tengah laut melepaskan sejumlah besar hidrogen sehingga dapat disamakan dengan jalan raya hidrogen dengan stasiun pengisian bahan bakar untuk produksi simbiosis primer," kata Petersen. Mungkin "jalan raya hidrogen" ini bisa mengarah ke pembuatan sel bahan bakar hidroge6. Karbon Dioksida Menjadi GeoThermal
Quote: Emisi karbon yang dituding sebagai salah satu penyebab perubahan iklim, masih menjadi perhatian para ilmuwan di berbagai belahan dunia. Salah satu metode yang dianggap bisa mengatasi masalah tersebut adalah carbon capture storage, dimana karbon ditangkap dan kemudian disimpan jauh ke dalam tanah.
Hanya saja ada satu kekurangan dari metode tersebut yaitu hanya menangkap dan menyimpan karbondioksida ke dalam perut bumi. Setidaknya hal itu menurut beberapa ilmuwan yang telah mengembangkan metode-metode yang lebih baik. Metode-metode baru tersebut bisa menyimpan karbondioksida dan kemudian memanfaatkannya untuk menghasilkan energi kembali.
Diantaranya adalah Martin Saar dan Jimmy Randolph dari University of Minnesota. Keduanya menggunakan metode berbasis carbon capture storage konvensional untuk mengembangkan metode mereka sendiri yang dikenal dengan CO2-plume geothermal (CPG). Sesuai namanya, metode tersebut juga sekaligus menghasilkan energi geothermal dari hasil pemanasan gas karbondioksida di dalam perut bumi. Riset mereka mendapatkan dana sebesar $600,000 dari University of Minnesota Institute on the Environment’s Initiative for Renewable Energy and the Environment (IREE).
Tidak lama berselang, tim ilmuwan di Lawrence Berkeley National Laboratory juga melakukan hal yang pada prinsipnya sama. Tim tersebut mendapatkan dana sebesar $5 million dari Departemen of Energy untuk mengembangkan metode yang memanfaatkan karbondioksida sebagai fluida kerja dalam sistem geothermal yang pada umumnya menggunakan air.
Keduanya memiliki kesamaan, menggantikan air dengan karbon dioksida sebagai fluida kerja dalam sistem pembangkit listrik geothermal. Jika gas karbon dioksida tersebut menyentuh batuan panas di dalam perut bumi, maka gas tersebut akan mengembang dan menghasilkan tekanan besar untuk menggerakkan generator.
Metode-metode ini tentunya memiliki potensi besar untuk dikembangkan lebih jauh, jika tidak maka tidak ada penyandang dana yang mau membiayai riset mereka. Selain sebagai penangkap karbon, metode ini juga digunakan sebagai pembangkit listrik geothermal. Karena tidak membutuhkan air layaknya pembangkit geothermal konvensional, maka pembangkit sejenis itu bisa dibangun di lokasi yang tandus dan kering. Dan tentunya tidak akan terjadi scaling seperti pembangkit geothermal konvensional.
Metode-metode tersebut memang menjanjikan, tetapi sepertinya masih membutuhkan jalan yang relatif panjang untuk mencapai kesempurnaannya, walau teknologi pembangkit listrik geothermal saat ini sudah berada di tahap kematangannya. Material turbin yang tepat serta teknologi cooling tower adalah beberapa tantangan yang harus dipecahkan. |
|
Quote: 7. Tequila Bio Energy
Quote: Tahu tequila? Minuman beralkohol khas Meksiko tersebut ternyata memiliki potensi energi yang besar. Hasil riset yang sudah dilakukan oleh banyak ilmuwan sebelumnya, kini ditegaskan lagi oleh sekelompok ilmuwan terhadap agave, tanaman yang biasa diolah menjadi minuman tersebut.
Dalam jurnal Global Change Biology Bioenergy, 14 penelitian berbeda yang dilakukan sekelompok ilmuwan dari University of Illinois, mendapati dua spesies agave yang bisa memproduksi biofuel lebih besar dari tanaman pangan seperti jagung, gandum, kedelai dan sorgum.
tequila Salah satu produk tequila
Agave mengkonsumsi air dan menggunakan lahan lebih efisien dibandingkan tanaman-tanaman lainnya di dunia. Jarak pagar misalnya, meski dilaporkan sanggup hidup di daerah kering, tetapi pohonnya yang besar akan membutuhkan jarak tertentu antar tanaman agar pertumbuhannya optimal. Sementara sumber utama biofuel dari jarak terletak pada bijinya yang jika diperas hanya akan menghasilkan kurang lebih 15% dari beratnya.
Agave sendiri, menurut ahlinya, Arturo Valez Jimenez, CEO Agave Project di Meksiko, mampu menghasilkan 500 ton biomassa per hektar. Kandungan biomassa di dalamnya cukup untuk menghasilkan biofuel dan menggantikan tanaman pangan yang saat ini masih digunakan juga sebagai biofuel tanpa perlu penambahan lahan baru. |
|
Quote: 8. Menanam Tanaman Pangan Untuk Pangan Lebih Efisien Dari Sisi Energi Dibanding Untuk Bahan Bakar
Quote: Ilya Gelfand, salah satu peneliti utama dalam studi yang dilakukan Michigan State University tersebut menjelaskan bahwa efisiensi sebesar 36% bisa dicapai jika tanaman pangan memang ditanam untuk keperluan pangan. Idealnya jika tanaman pangan, dalam hal ini jagung, digunakan untuk pangan, kemudian sisa hasil panen lainnya seperti tongkol, daun dan biomassa lainnya digunakan untuk pupuk serta ethanol selulosa.
Riset yang dilakukan Michigan State University tersebut lebih komprehensif dibanding riset-riset lain yang juga melakukan hal sama, tetapi dalam periode waktu yang lebih singkat. Michigan State University memperhitungkan keseimbangan energi dari sistem pertanian secara komprehensif selama bertahun-tahun.
Para peneliti tersebut menggunakan dan menganalisa data-data dari W.K. Kellogg Long Term Ecological Research dari tahun 1989 hingga tahun 2007. Mereka membandingkan energi yang dibutuhkan dan yang dihasilkan dari memproduksi jagung, kedelai dan gandum dengan menggunakan empat sistem yaitu tanah yang diolah secara konvensional, tanpa diolah, rendah bahan kimia dan organik dan menggunakan semua hasil pertanian pertanian untuk pangan dan biofuel. mereka juga menghitung kesetimbangan energi dari penanaman alfalfa (Medicago sativa) sebagai bahan pakan ternak.
Hasil analisa yang didapatkan tim riset dan juga diterbitkan dalam jurnal Environmental Science & Technology tersebut menunjukkan bahwa pemanfaatan lahan yang tidak diolah merupakan yang paling efisien untuk produksi pangan dan biofuel. Menghasilkan satu kilogram jagung untuk bahan pangan memberikan efisiensi yang lebih baik dibanding dengan mengubahnya menjadi ethanol, baik dengan memprosesnya atau mengubahnya menjadi daging sebagai bahan pakan ternak. Sementara itu, menanam alfalfa untuk biofuel adalah 60% lebih efisien dibanding sebagai bahan pakan ternak.
Phil Robertson, profesor Ilmu Tanah dan Tanaman Michigan State University, yang juga anggota tim riset tersebut menambahkan bahwa hasil riset mereka bisa digunakan bagi pembuat kebijakan untuk menentukan strategi, selama tanaman pangan tetap digunakan sebagai bahan pangan dan sisa hasil pertanian digunakan untuk biofuel serta perlunya insentif untuk menanam rumput pada lahan yang kurang produktif. |
|
Quote: 9. Skotlandia Siap Bangun Pembangkit Listrik Arus Laut Terbesar Di Dunia
Quote: Potensi energi laut masih terpendam dan belum banyak dimanfaatkan. Berbeda dengan energi angin yang saat ini telah mencapai angka total produksi di seluruh dunia sebesar 175 GW.
Hingga saat ini belum terdapat angka pasti tentang berapa besar energi laut telah diproduksi. Tingginya kesulitan dalam membuat pembangkit listrik untuk diletakkan di lingkungan yang ekstrim menjadi masalah utama kenapa energi laut masih belum optimal.
Meski demikian pengembangannya tetap terus dilakukan. Kali ini Skotlandia menjadi negara yang akan membangun pembangkit listrik tenaga arus laut terbesar di dunia.
Pemerintah Skotlandia belum lama ini telah menyetujui proposal Scottish Power Renewables untuk membangun pembangkit listrik tenaga arus laut di sekitar Caol Ila atau Sound of Islay. Perusahaan yang masih merupakan bagian dari Iberdrola Renovables --perusahaan yang sudah berkecimpung dalam bidang pembangkitan listrik energi terbarukan, khususnya di perairan laut-- rencananya akan membangun pembangkit listrik dengan kapasitas terpasang 10 MW dan cukup untuk melistrik 5.000 rumah di sekitarnya.
Scottish Power Renewables akan memanfaatkan selat di antara Isla dan Jura yang memiliki kecepatan arus mencapai 6 meter per detik.
Pemerintah Skotlandia yang menyediakan dana sebesar 40 juta pondsterling, juga yakin jika proyek tersebut berjalan lancar, maka Skotlandia akan memimpin di bidang energi kelautan. |
|
|
|